Monday, June 16, 2025

Struktur Kepamongan Tradisional di Kalipancer

Ilustrasi
Struktur kepemimpinan desa di Jawa tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh adat yang dikenal dengan istilah pamong. Di Kalipancer, keberadaan tokoh-tokoh seperti Bayan dan Prabot mencerminkan sistem sosial tradisional yang berkembang secara turun-temurun. Artikel ini menyajikan kajian historis terhadap tokoh-tokoh pamong Kalipancer, mengidentifikasi fungsinya dalam masyarakat, serta menempatkan keberadaan mereka dalam konteks yang lebih luas mengenai sistem pemerintahan desa di Jawa. Studi ini juga membandingkan temuan lapangan dengan literatur klasik mengenai pranata desa dan sistem birokrasi tradisional.

Pemerintahan desa tradisional di Jawa dikenal memiliki struktur sosial yang khas, yang terdiri dari kepala desa (bekel atau lurah), dibantu oleh perangkat seperti carik, kaur, modin, bayan, hingga prabot. Setiap posisi memegang fungsi sosial-religius dan administratif tertentu, yang berjalan paralel dengan struktur formal pemerintahan kolonial maupun pascakemerdekaan. Menurut Koentjaraningrat (1984), sistem ini menunjukkan adanya kesinambungan antara struktur adat dan struktur birokrasi formal. Di Kalipancer, catatan tentang para Bayan dan Prabot menjadi bukti hidup dari sistem tersebut.

Peran dan Daftar Bayan Kalipancer

Dalam struktur pamong, Bayan merupakan pejabat desa yang memiliki peran penting dalam urusan keagamaan, adat istiadat, dan terkadang menjadi penghubung antara tokoh masyarakat dan kepala desa. Di Kalipancer, tercatat dua wilayah administratif informal yaitu Bayan Lor (utara) dan Bayan Kidul (selatan), masing-masing dengan tokoh-tokohnya dari periode pertama hingga saat ini:

Bayan Lor:

  1. Mbah Bayan Marmo 
  2. Mbah Bayan Margono
  3. Mbah Bayan Wardi
  4. Bayan Suyadi
  5. Bayan Ediyase

Bayan Kidul:

  1. Bayan Sudarmin
  2. Bayan Dolah Satar
  3. Bayan Kodir
  4. Bayan Wahidin
  5. Bayan Muslimin

Kehadiran dua wilayah ini mengindikasikan pembagian sosial dan geografis desa secara internal. Hal ini umum terjadi di masyarakat pedesaan Jawa, seperti yang dijelaskan oleh Schrieke (1955), bahwa dalam satu desa sering kali terdapat beberapa tokoh adat yang mewakili wilayah tertentu guna menjaga keseimbangan sosial.

 Peran dan Daftar Prabot Kalipancer

Sementara itu, Prabot merupakan sebutan lokal yang kemungkinan merujuk pada tokoh-tokoh fungsional lain dalam masyarakat, yang mengemban tugas non-formal seperti penyelenggaraan kegiatan keagamaan, penyimpanan tradisi lisan, hingga penjaga adat atau harta benda desa. Tokoh-tokoh ini mencerminkan kepercayaan dan legitimasi sosial dari masyarakat setempat.

Daftar Prabot Kalipancer dari periode pertama hingga periode terahir secara berurutan adalah:

  1. Prabot Bongsodipo
  2. Prabot Saiin
  3. Prabot Cokropawiro
  4. Prabot Luar
  5. Prabot Yusri
  6. Prabot Ahmadi
  7. Prabot Saroni
  8. Prabot Djawahir

Keberadaan nama-nama ini menunjukkan kesinambungan struktur kultural desa yang tidak selalu terdokumentasi secara formal dalam administrasi negara, namun tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat dan praktik sosial sehari-hari. Seperti dikemukakan oleh H.J. de Graaf (1962), sistem lokal ini kerap kali berperan lebih besar dalam mengatur harmoni sosial dibanding struktur formal dari atas.

Daftar Bayan dan Prabot Kalipancer bukan hanya sekadar nama-nama tokoh, melainkan representasi dari struktur sosial lokal yang berperan dalam menjaga tata nilai, tradisi, dan harmoni masyarakat. Penelitian seperti ini penting untuk memahami bahwa sistem kepemimpinan lokal Jawa tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga kultural dan spiritual. Revitalisasi pengetahuan ini menjadi penting dalam konteks pelestarian budaya dan pendidikan sejarah lokal.


Daftar Pustaka

  • Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Schrieke, B. (1955). Indonesian Sociological Studies. The Hague: Van Hoeve.
  • de Graaf, H.J. (1962). Chinese Muslims in Java in the 15th Century. BKI.
  • Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press
  • Hasil wawancara dengan tokoh lokal mbah Wagiman 

 

Sunday, June 15, 2025

Jejak Awal Islamisasi dan Perkembangan Tempat Ibadah di Kalipancer: Telaah Historis dan Budaya Lokal

 Kalipancer, sebagai bagian dari lanskap budaya Jawa, menyimpan catatan penting mengenai proses islamisasi yang berlangsung secara gradual dan berakar kuat pada tradisi lokal. Artikel ini membahas perkembangan tempat-tempat ibadah kuno di Kalipancer yang menjadi saksi bisu dari peran para tokoh agama dalam membentuk komunitas Muslim sejak masa awal. Narasi ini diperkuat dengan kajian literatur tentang penyebaran Islam di pedesaan Jawa melalui peran langgar dan masjid sebagai pusat spiritual dan sosial.

 Islamisasi di Jawa dikenal sebagai proses yang bersifat akulturatif, menggabungkan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal. Dalam konteks Kalipancer, narasi sejarah Islam berkembang seiring dengan berdirinya masjid dan langgar (surau kecil) yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga pusat pendidikan keagamaan dan penguatan komunitas. Tradisi ini selaras dengan pola penyebaran Islam di Jawa yang banyak didorong oleh figur ulama lokal, kyai, dan jaringan santri, sebagaimana ditulis oleh Ricklefs (2006) dan Woodward (1989).

 Sejarah Tempat Ibadah di Kalipancer

Masjid di Setompak

Masjid pertama di Kalipancer merupakan penanda awal penyebaran Islam dan pengorganisasian komunitas Muslim lokal. Masjid ini pertama kali didirikan di kawasan Ngrete Miringngidul pada masa kepemimpinan Mbah Sokeromo, salah satu tokoh awal dalam sejarah Islam desa tersebut. Seiring waktu dan perkembangan masyarakat, lokasi masjid mengalami beberapa kali perpindahan, pertama kali ke tempat yang kemudian diasuh oleh Mbah Kyai Sabikis, lalu diteruskan oleh Mbah Kyai Amat Djalan, dan akhirnya dipindahkan ke wilayah Kaliseprih.

Perpindahan ini tidak hanya mencerminkan dinamika demografis—seperti perpindahan pusat permukiman warga atau pertimbangan jarak yang lebih strategis—tetapi juga dapat ditafsirkan sebagai bagian dari adaptasi terhadap kondisi topografis dan kebutuhan spiritual masyarakat yang terus berkembang. Dalam konteks sejarah arsitektur pedesaan Jawa, hal ini merupakan hal yang umum terjadi, sebagaimana dijelaskan oleh Denys Lombard (1996), di mana masjid atau langgar tradisional cenderung bersifat dinamis dan mengikuti arus pergerakan penduduk atau figur kharismatik pemuka agama.

Menarik untuk dicermati bahwa struktur masjid kuno pertama di Kalipancer dibangun dengan bahan-bahan lokal dan teknik tradisional, yang menunjukkan pemanfaatan sumber daya sekitar dan nilai estetika arsitektur rakyat. Bangunan masjid tersebut terdiri dari:

  • Atap yang terbuat dari daun kelapa (arap), disusun bertingkat atau joglo sederhana yang mencerminkan gaya arsitektur tropis dan simbol spiritualitas dalam bangunan suci Jawa.
  • Tiang-tiang dari kayu, yang biasanya berasal dari pohon jati atau aren, menopang struktur atap sekaligus berfungsi sebagai simbol kekokohan iman.
  • Pagar gedek, yaitu dinding yang dibuat dari anyaman bambu, melambangkan keterbukaan dan kesederhanaan.
  • Lantai dari susunan batu padas, batuan alam lokal yang dipahat dan disusun rapi sebagai dasar ruang ibadah.

Ciri-ciri tersebut sangat khas dan selaras dengan deskripsi masjid awal di wilayah pedesaan Jawa Tengah dan DIY sebagaimana ditulis oleh Achmad Chodjim (2003), bahwa masjid-masjid awal sering kali tidak dibangun dengan kemegahan, melainkan dengan kekuatan spiritual dan komunalitas masyarakat setempat.

Keseluruhan struktur tersebut tidak hanya merefleksikan kondisi ekonomi dan lingkungan kala itu, tetapi juga menunjukkan nilai-nilai Islam Nusantara yang menjunjung tinggi keterhubungan dengan alam, kesederhanaan, serta fungsi kolektif dari tempat ibadah sebagai pusat aktivitas sosial, keagamaan, dan kebudayaan.

Langgar Mbah Mujari dan Mbah Gesan di Sekitar Kali Rau 

Langgar ini menunjukkan kesinambungan keilmuan, di mana Mbah Gesan yang belajar di Purworejo kemudian membangun langgar di atas fondasi lama Mbah Mujari. Hal ini mencerminkan model transmisi ilmu keagamaan yang umum terjadi di Jawa, yakni melalui proses “nyantri” ke luar daerah sebelum kembali dan mengabdi di tanah kelahiran.

Langgar Tertua di Mbeji oleh Mbah Kyai Ronopawiro 

Langgar ini menandai pusat keislaman awal di Kalipancer yang diwarisi oleh tokoh-tokoh seperti Mbah Junedi dan Pak Sudiman Situk. Lokasinya yang strategis menandakan pentingnya Mbeji sebagai simpul religius dan kultural.

Langgar Mbah Kaum Djaeni di Ngadipolo 

Keberadaan langgar ini memperkuat persebaran tempat ibadah di luar pusat desa utama, menandakan perluasan dakwah Islam melalui jaringan tokoh masyarakat seperti Mbah Ban.

Langgar Situk Kebon Ombo oleh Mbah Kyai Busero 

Meski tidak lagi aktif dalam bentuk awalnya, keberadaan langgar ini menjadi jejak penting dalam memetakan penyebaran Islam di sisi barat daya Kalipancer.

Langgar di Kaligondang oleh Mbah Kyai Wonosingo

Langgar yang didirikan oleh Mbah Kyai Wonosingo mengalami sejarah kelam akibat konflik keluarga terkait warisan dengan saudaranya, Kyai Noyo. Peristiwa ini mencerminkan kompleksitas sosial dalam masyarakat pedesaan, di mana spiritualitas dan urusan duniawi kerap bersinggungan.

 Langgar Ngadipolo Atas dan Keberlanjutan Kepemimpinan

 Langgar ini diwariskan secara berjenjang dari Mbah Kyai Sadikan, Mbah Kaeroni, hingga saat ini dipimpin oleh Kang Paiman. Ini menunjukkan kesinambungan peran imam dalam menjaga fungsi keagamaan secara turun-temurun.

 Jumatan Sebagai Pusat Kerumunan Regional

 Pelaksanaan salat Jumat di Kalipancer di masa lalu tidak hanya diikuti oleh warga lokal, tetapi juga oleh masyarakat dari Guntur dan Kayangan. Ini menunjukkan posisi Kalipancer sebagai pusat kegiatan keislaman regional.

 Langgar Mbah Toyib dan Kepindahannya ke Tempat Mbah Yusri

 Setelah wafatnya Mbah Toyib, langgar di Mbeji dipindahkan oleh Mbah Yusri ke lokasi baru. Ini menunjukkan dinamika fisik dan simbolik dari perubahan kepemimpinan keagamaan lokal.

Narasi sejarah tempat-tempat ibadah di Kalipancer menjadi bukti bahwa islamisasi di Jawa berlangsung melalui jejaring sosial dan kultural berbasis desa. Fungsi langgar sebagai sarana dakwah, pendidikan, dan sosial menjadikannya sebagai institusi penting dalam penguatan identitas keislaman masyarakat Jawa. Sebagaimana dijelaskan oleh Geertz (1960), langgar dan masjid adalah pusat kehidupan santri dan abangan, yang dalam praktik lokal seperti Kalipancer dapat bersatu dalam semangat religius dan gotong royong.

 

Daftar Pustaka

  • Geertz, Clifford. The Religion of Java. University of Chicago Press, 1960.
  • Ricklefs, M.C. Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c.1930 to the Present. NUS Press, 2006.
  • Woodward, Mark R. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta. University of Arizona Press, 1989.
  • Hasil wawancara dengan tokoh lokal mbah Wagiman dan mbah Sahono

 

Menemukan Kembali Jejak Sejarah Ki Guntur Geni: Antara Dakwah, Budaya, dan Transmisi Nilai Islam di Tanah Jawa

Tulisan ini merupakan upaya rekonstruksi sejarah lokal yang bersumber dari penuturan lisan aparat desa Guntur, Mas Alim, mengenai tokoh spiritual legendaris Ki Guntur Geni. Dinarasikan bahwa tokoh ini memiliki keterkaitan dengan Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, yang konon moksa namun sejatinya mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan dan menyamar sebagai rakyat biasa demi menjalankan ajaran Islam. Melalui pendekatan historis dan etnografis, artikel ini mengeksplorasi bagaimana identitas, dakwah, dan kesenian menjadi instrumen transformasi sosial keagamaan dalam masyarakat Jawa pasca-Majapahit.

Penelusuran sejarah lokal di Jawa seringkali bersinggungan dengan legenda, mitos, dan narasi spiritual yang diturunkan secara lisan. Salah satunya adalah kisah tentang Ki Guntur Geni, sosok yang oleh sebagian masyarakat diyakini sebagai identitas baru dari Brawijaya V, raja terakhir Majapahit yang memutuskan menghilang dari pentas politik kerajaan demi menghindari konflik keagamaan yang sensitif pada masa transisi antara Hindu-Buddha ke Islam. Penelitian ini bertumpu pada data naratif yang dihimpun dari Mas Alim, seorang aparat Desa Guntur, yang menjadi penjaga ingatan kolektif masyarakat lokal.

Dalam narasi tentang Ki Guntur Geni memperlihatkan kerangka sejarah lokal yang sarat nilai spiritual dan simbolik, dengan menyebut bahwa tokoh ini sejatinya adalah Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, yang mengundurkan diri untuk menghindari konflik keagamaan dalam proses transisi dari Hindu-Buddha ke Islam. Narasi ini sejalan dengan banyak legenda di Jawa yang menggambarkan para tokoh besar—seperti Brawijaya V atau Prabu Kertabumi—sebagai figur yang mengalami transformasi identitas demi meredakan ketegangan politik-religius pada masa keruntuhan Majapahit.

Literatur ilmiah seperti karya M.C. Ricklefs dalam Mystic Synthesis in Java menguatkan bahwa Islamisasi di Jawa tidak berlangsung secara radikal, tetapi lebih bersifat gradual dan akomodatif, terutama melalui peran para wali dan tokoh spiritual yang mengadopsi media budaya lokal seperti wayang, gamelan, dan seni pertunjukan lainnya. Ini sejalan dengan metode dakwah Ki Guntur Geni yang menggunakan kesenian Lengger dan topeng sebagai sarana untuk menarik massa, sebelum menyampaikan ajaran Islam melalui kitab suci.

Selain itu, de Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa juga menunjukkan bahwa Islam masuk ke kalangan elite dan rakyat melalui jalur kultural dan ekonomi, bukan dengan penaklukan. Hal ini tampak dalam narasi Ki Guntur Geni yang memilih menyamar sebagai rakyat biasa untuk menyebarkan ajaran Islam secara damai, bukan dengan kekuasaan.

Namun demikian, dari sisi historiografi modern, klaim bahwa Brawijaya V menjadi seorang ulama atau tokoh penyebar Islam belum dapat diverifikasi secara dokumenter. Tidak ada bukti tertulis yang secara eksplisit menyatakan bahwa Brawijaya V menjadi tokoh Islam. Hal ini lebih merupakan bagian dari "sejarah mistik" atau local memory, yang memperkuat identitas komunitas.

Dengan demikian, pendahuluan narasi ini mendukung gambaran besar tentang Islamisasi Jawa sebagai proses yang damai dan terinternalisasi dalam budaya lokal. Walau bercampur dengan mitos, narasi ini penting dalam memahami bagaimana masyarakat menafsirkan sejarah dan membentuk identitas religius mereka melalui lensa lokal dan spiritual.

Menurut sumber lisan tersebut, Brawijaya V tidak mengalami moksa secara literal, melainkan menyamar sebagai rakyat biasa dan mengasingkan diri ke wilayah pedalaman, tepatnya di kawasan pinggiran Sungai Bogowonto. Tujuan utama pengasingan ini adalah untuk menyebarkan ajaran Islam secara damai tanpa mencederai perasaan rakyatnya yang mayoritas masih memeluk agama Hindu-Buddha.

Dalam masa pengasingan tersebut, sang raja mengganti namanya menjadi Kyai Guntur Geni. Ia membawa dua simbol penting: sebuah kitab suci sebagai sumber ajaran Islam, dan sebuah topeng sebagai media dakwah. Metode dakwah yang ia gunakan unik—melalui kesenian rakyat yang disebut Lengger. Topeng menjadi alat pemikat dalam pertunjukan, sementara isi dakwah disampaikan setelah masyarakat berkumpul.

dalam narasi Ki Guntur Geni memuat klaim bahwa Brawijaya V tidak moksa sebagaimana sering dikisahkan dalam legenda Majapahit, melainkan mengundurkan diri dari kekuasaan dan menyamar sebagai rakyat biasa untuk memeluk dan menyebarkan ajaran Islam. Ia disebut mengganti identitas menjadi Kyai Guntur Geni dan menyebarkan Islam secara kultural melalui kesenian Lengger. Narasi ini memperlihatkan suatu bentuk transformasi spiritual seorang pemimpin Hindu-Buddha menjadi pengemban dakwah Islam, yang dinarasikan dengan cara yang simbolik dan kultural.

Narasi ini, meskipun bersifat lokal dan mistis, memiliki kemiripan struktural dengan berbagai legenda di Jawa yang mengaitkan tokoh kerajaan Hindu-Buddha dengan tokoh Islam. Dalam Mystic Synthesis in Java, M.C. Ricklefs menjelaskan bahwa proses Islamisasi di Jawa berlangsung melalui pendekatan spiritual yang tidak frontal. Pergeseran dari kepercayaan lama menuju Islam tidak menimbulkan konflik besar, melainkan seringkali dileburkan secara simbolik dalam cerita rakyat, kesenian, dan praktik keagamaan lokal. Hal ini sangat tampak dalam tokoh Ki Guntur Geni yang dikisahkan membawa kitab suci dan topeng, dua simbol yang mencerminkan kombinasi dakwah dan budaya.

Kisah Brawijaya V yang konon menjadi muslim juga dikenal dalam legenda-legenda Walisongo, khususnya dalam kisah Sunan Kalijaga. Beberapa versi Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Brawijaya memiliki hubungan dengan para wali, bahkan disebut-sebut sebagai ayah dari Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak. Meski aspek genealogi ini masih diperdebatkan secara akademik, ia menunjukkan adanya konstruksi sejarah yang mencampurkan unsur politik, spiritual, dan kultural untuk menjelaskan transisi Islamisasi secara damai.

Namun, jika ditinjau secara historis-kritis, tidak terdapat bukti primer yang menyatakan secara pasti bahwa Brawijaya V masuk Islam dan menjadi penyebar agama tersebut. Sejarawan seperti H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa lebih berhati-hati dan menyatakan bahwa kemungkinan besar Brawijaya V tetap berada dalam sistem kepercayaan Hindu-Buddha, sementara peralihan kekuasaan ke tangan Demak merupakan hasil dinamika sosial-politik dan dukungan dari kelompok Islam yang tumbuh di wilayah pesisir.

Meskipun demikian, narasi tentang transformasi Brawijaya menjadi Kyai Guntur Geni sangat penting dalam konteks memori kolektif masyarakat lokal. Ia memperlihatkan bagaimana masyarakat memaknai transisi keagamaan sebagai peristiwa spiritual yang terinternalisasi secara damai dalam budaya. Bahkan lebih jauh, ia menunjukkan adanya penghargaan terhadap pendekatan dakwah yang adaptif, kreatif, dan penuh kebijaksanaan.

Kesimpulannya, bagian ini mencerminkan bentuk khas Islamisasi Jawa yang mengedepankan harmoni dan sinkretisme, meskipun tidak selalu sejalan dengan bukti historis formal. Ia memperkuat pemahaman kita bahwa sejarah Islamisasi bukan hanya milik teks resmi, tetapi juga hidup dalam tradisi tutur dan simbolisme lokal.

Dalam akhir hidupnya, Kyai Guntur Geni menghanyutkan dua peninggalannya—kitab suci dan topeng—masing-masing dalam besek (wadah anyaman bambu). Tempat pertama hanyutnya benda-benda tersebut dikenal sebagai Kedung Sebesek. Arus kemudian membawa kedua besek itu hingga ke suatu tempat yang dinamakan Setaunan, karena benda-benda tersebut tidak tersentuh oleh manusia selama setahun.

Setelah setahun, salah satu besek yang berisi topeng diambil dan menjadi dasar berkembangnya kesenian Lengger di Desa Jolodoro. Keunikan Lengger Jolodoro terletak pada lirik dan nyanyiannya yang mengandung pesan dakwah Islam, berbeda dari daerah lain. Adapun besek berisi kitab kembali dihanyutkan dan sempat tersangkut di wilayah yang kemudian disebut Kali Malang. Akhirnya, kitab tersebut ditemukan oleh Mbah Imampuro di kawasan Purworejo. Dari kitab inilah, Mbah Imampuro menjadi tokoh ulama yang berpengaruh, dan keturunannya dikenal sebagai orang-orang alim.

 “Warisan Simbolik” dalam narasi Ki Guntur Geni menggambarkan bagaimana peninggalan spiritual—yakni kitab suci dan topeng—dihanyutkan di Sungai Bogowonto dan kemudian membentuk nama-nama tempat yang hidup hingga kini: Kedung Sebesek, Setaunan, dan Kali Malang. Narasi ini tidak hanya menciptakan simbol geografis dari jejak spiritual masa lalu, namun juga menyiratkan bagaimana Islamisasi tidak hadir dalam bentuk dominasi struktural, melainkan melalui proses kultural dan mistikal yang mendalam.

Dari perspektif historiografi Islam Jawa, fenomena ini mencerminkan praktik transmisi Islam melalui pendekatan sufistik dan simbolik, yang lazim digunakan para ulama dan wali pada abad ke-15 hingga 17. Dalam kajian Mystic Synthesis in Java oleh M.C. Ricklefs, dijelaskan bahwa penyebaran Islam di Jawa ditopang oleh kekuatan mistik yang membaurkan ajaran tasawuf dengan sistem nilai lokal. Hal ini dilakukan demi menjembatani keberterimaan masyarakat yang sebelumnya memeluk kepercayaan Hindu-Buddha. Dalam konteks ini, tindakan menghanyutkan kitab dan topeng dapat dibaca sebagai bentuk ritualisasi transisi spiritual, yang mengandung unsur pengorbanan, pelestarian nilai, sekaligus pembentukan memori kolektif.

Kedung Sebesek, sebagai tempat awal hanyutnya simbol-simbol tersebut, memiliki makna penting. “Besek” sebagai wadah bambu tradisional, merupakan simbol kesederhanaan dan penyimpanan sesuatu yang berharga. Narasi ini memperlihatkan bagaimana warisan spiritual Islam dikemas dalam simbol-simbol lokal yang familiar bagi masyarakat Jawa. Lalu Setaunan, tempat di mana benda-benda itu tertahan selama satu tahun tanpa dijamah, mencerminkan keyakinan akan kesakralan objek dakwah. Ini menyerupai konsep barakah dalam Islam, yakni kekuatan spiritual yang melekat pada benda atau tempat tertentu dan tidak bisa sembarangan disentuh.

Ketika besek berisi topeng diambil dan menjadi cikal bakal berkembangnya kesenian Lengger di Jolodoro, ini memperlihatkan strategi dakwah melalui kebudayaan, yang sangat khas dalam sejarah Islamisasi Jawa. Seperti dicatat oleh H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa, bentuk kesenian seperti wayang, gamelan, dan tarian tradisional sering digunakan para ulama untuk menarik masyarakat sebelum menyisipkan pesan dakwah. Topeng dalam konteks ini bukan sekadar alat hiburan, tetapi menjadi media dakwah terselubung, sejalan dengan metode para wali dalam mengislamkan masyarakat melalui pendekatan estetika.

Sementara itu, kitab yang terus hanyut hingga ditemukan oleh Mbah Imampuro, yang kemudian menjadi ulama, memperlihatkan gagasan bahwa ilmu atau hidayah Islam menyebar secara selektif dan tertuju kepada orang yang siap menerimanya. Penemuan kitab tersebut menjadi legitimasi spiritual bagi Mbah Imampuro dan keturunannya sebagai pewaris ajaran Ki Guntur Geni. Ini selaras dengan pandangan kosmologis Jawa, di mana warisan spiritual sering kali dianggap mengalir melalui garis-garis yang tidak kasatmata, bukan semata keturunan darah.

Kali Malang—tempat kitab sempat tersangkut—menunjukkan pentingnya simbol geografis dalam memori Islamisasi. Penamaan ini menjadi bentuk penyatuan antara unsur alam dan spiritual dalam budaya Jawa-Islam.

Dengan demikian, bagian “Warisan Simbolik” tidak hanya mengandung narasi folklorik, tetapi juga menggambarkan strategi Islamisasi yang halus, transformatif, dan berakar kuat pada tradisi lokal. Ia memperkuat gambaran bahwa sejarah Islamisasi Jawa adalah sejarah dialog—antara kepercayaan lama, ajaran baru, serta lanskap budaya yang menyatukan keduanya.

Salah satu ciri khas dari makam Kyai Guntur Geni adalah ketidaksanggupannya untuk didirikan bangunan cungkup. Dikatakan bahwa setiap kali dibangun bangunan di atasnya, maka akan terbakar, kecuali jika pembangunan dilakukan oleh keturunan beliau dari Desa Guntur. Hal yang sama juga terjadi pada makam Mbah Imampuro, yang menguatkan dugaan adanya hubungan spiritual antara kedua tokoh tersebut.

Bagian “Jejak Sakral” dalam narasi Ki Guntur Geni memuat kisah mistikal terkait makam tokoh yang diyakini sebagai Brawijaya V dalam wujud Kyai Guntur Geni, beserta Mbah Imampuro, yang disebut tidak bisa dibangun cungkup karena selalu terbakar, kecuali oleh orang-orang Guntur sebagai keturunan spiritual. Fenomena ini menunjukkan jejak kepercayaan masyarakat terhadap kesakralan tempat, warisan spiritual, dan hubungan karomah atau keberkahan tokoh-tokoh tertentu—sebuah konsep yang sangat kuat dalam tradisi Islam lokal di Jawa.

Dalam kajian Islamisasi Jawa, khususnya dalam studi M.C. Ricklefs (Mystic Synthesis in Java), makam tokoh-tokoh sufi, wali, dan guru spiritual memainkan peran sentral sebagai pusat ziarah (ziarah kubur), penguatan identitas Islam, serta penjaga nilai-nilai moral dan budaya. Kepercayaan bahwa cungkup makam bisa terbakar jika dibangun oleh pihak yang "tidak berhak" mencerminkan keyakinan akan eksklusivitas spiritual yang diwariskan secara garis batin atau wilayah ruhaniyah—tidak selalu melalui keturunan biologis.

Kisah ini juga mencerminkan pandangan masyarakat Jawa tentang adanya hubungan metafisis antara manusia dan ruang sakral. Dalam konteks ini, masyarakat mempercayai bahwa tempat seperti makam Kyai Guntur Geni bukan hanya sebagai tempat peristirahatan terakhir, tetapi sebagai portal spiritual yang memiliki batasan-batasan moral tertentu. Jika batas itu dilanggar, misalnya membangun cungkup tanpa izin “batiniah”, maka konsekuensinya bersifat gaib—seperti kebakaran.

Narasi ini sejalan dengan praktik ziarah wali di pesisir utara Jawa, seperti makam Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, atau Sunan Giri, di mana makam bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga situs pendidikan, penguatan legitimasi sosial, dan pelestarian nilai. Bahkan dalam Babad Tanah Jawi atau Serat Centhini, kisah-kisah serupa tentang “makam yang tidak bisa sembarang diurus” kerap muncul sebagai simbol keterhubungan manusia dengan dunia ghaib.

Kesimpulannya, bagian “Jejak Sakral” menggambarkan bagaimana warisan mistikal Islam di Jawa tidak hanya tertanam dalam doktrin, tapi juga dalam praktik budaya, simbol-simbol tempat, dan penghormatan terhadap tokoh suci. Ia menegaskan bahwa Islamisasi Jawa adalah sebuah sintesis antara spiritualitas Islam dan kosmologi lokal yang penuh makna simbolik.

Narasi lokal juga menyebutkan adanya ayam jago milik Kyai Guntur Geni yang dipercaya memiliki kesaktian. Ayam yang diyakini sebagai titisan atau keturunan dari ayam jago tersebut konon tidak pernah kalah dalam pertarungan ayam. Mitos ini menjadi simbol kekuatan spiritual dan keberlanjutan kekuatan non-fisik yang diwariskan secara turun-temurun.

Bagian ini mengisahkan kepercayaan masyarakat terhadap ayam jago milik Kyai Guntur Geni yang dianggap memiliki kesaktian dan menurunkan kekuatan supranatural pada keturunannya. Ayam-ayam yang diyakini memiliki “darah” atau hubungan dengan ayam Kyai Guntur Geni disebut tak pernah kalah saat diadu. Ini memperlihatkan satu pola khas dalam spiritualitas lokal Jawa, yakni animisme yang diserap ke dalam tradisi Islam sufistik, yang meyakini bahwa kekuatan spiritual tokoh suci dapat “menitis” atau diwariskan bahkan pada binatang peliharaan.

Dalam tradisi Islamisasi Jawa, sebagaimana dijelaskan oleh Mark R. Woodward dalam Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, kepercayaan terhadap benda-benda, hewan, atau pusaka yang memiliki barakah (berkah spiritual) adalah bagian dari praktik keagamaan populer yang berkembang di luar struktur Islam ortodoks. Fenomena ini bukan sekadar kepercayaan takhayul, tetapi seringkali dijadikan sebagai bentuk konkret dari hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan ilahiah melalui wasilah (perantara).

Ayam jago dalam konteks ini tidak hanya simbol kekuatan fisik, tetapi juga simbol maskulinitas, keberanian, dan keberuntungan dalam budaya Jawa. Dalam teks klasik seperti Serat Centhini, binatang—termasuk ayam—kadang dianggap sebagai penanda spiritualitas atau pembawa pertanda dari dunia gaib. Kisah tentang ayam yang mewarisi kesaktian ini memperlihatkan bahwa masyarakat menginternalisasi nilai-nilai kepahlawanan dan spiritualitas tokoh seperti Kyai Guntur Geni dalam bentuk-bentuk yang konkret dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Jika dibandingkan dengan praktik Islam ortodoks, tentu hal ini bisa dianggap sebagai bentuk sinkretisme, namun dalam konteks sejarah Islamisasi Jawa, inilah cara paling efektif bagi dakwah untuk diterima masyarakat. Pengaruh tokoh spiritual tidak berhenti pada dakwah verbal, tetapi juga menjelma menjadi mitos yang hidup dan diwariskan secara turun-temurun, seperti pada kisah ayam jago tersebut.

Dengan demikian, simbolisme ayam jago mencerminkan satu bentuk pelestarian memori spiritual dan karomah tokoh agama dalam wujud yang khas Jawa. Ia menegaskan bahwa Islamisasi di Jawa bukan hanya masuk ke akal, tetapi juga menyatu dalam alam rasa, mitos, dan simbol-simbol kehidupan rakyat.

Kisah Kyai Guntur Geni merupakan narasi penting dalam pemahaman sejarah Islamisasi Jawa yang berlangsung secara halus dan kultural. Pendekatan dakwah melalui kesenian menunjukkan strategi adaptif dan akomodatif yang dilakukan oleh tokoh Islam awal terhadap kultur lokal. Kisah ini juga menunjukkan bagaimana sejarah tidak hanya ditulis dalam dokumen resmi, namun juga hidup dalam ingatan masyarakat yang dikemas dalam bentuk cerita, nama-nama tempat, dan tradisi.

 

Daftar Pustaka
sumber lisan, sumber pustaka utama adalah wawancara dengan Mas Alim, aparat Desa Guntur 

Monday, November 1, 2010

Perkembangan MI Maarif Guntur


Madrasah Ibtidaiyah Guntur adalah merupakan lembaga pendidikan maarif di bawah naungan organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yaitu NU (Nahdltaul Ulama), sehingga madrasah ini di namakan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Maarif Guntur. Dalam perjalannanya menuju sebuah sekolah yang maju sekolah ini banyak kenangan serta sejarah yang sangat menarik.

Pada awalnya sekolah ini adalah merupakan kegiatan madrasah diniyah di masjil almuttaqin, padawaktu itu pendirinya adalah bapak muhyani (sekarang dikenal Bp. Fatkhurrahman), melihat madrasah yang di bertuk beliau semakin maju maka pemerintah memberikan bantun tenaga pengajar berstatus PNS yang sekaligus sebagai kepala sekolahnya yaitu Bapak Rohmad dari desa Guntur. Beberapa tahun kemudia pemerintah mengucurkan dana untuk pendirian gedung MI Guntur yang pada waktu itu bernama MI P2A , ahirnya dibangunlah gedung dengan batu bata dengan bentuk fisik seadanya karena keterbatasan dana, tembok tanpa plaster sehingga bila untuk bersandar cukup mengotorkan pakaian. Namun dengan keterbatasan prasarana tersebut tidak memudarkan semangat guru dan murid dalam aktifitas belajar mengajar. Baru sekitar tahun 1987 pemerinta memberikan bantuan rehab berat, ahirnya gedung yang pertama di bongkar dan di ganti dengan gedung baru berjumlah 3 lokal.

Setelah berjalan kurang lebih 15 tahun MI Guntur mendapatkan bantian lagi dari pemerintah pada tahun 2002 maka secara swakelola dana tersebut di gunakan untuk menambah lokal, mengingat areal MI yang sangat terbatas maka pengembangannya dengan cara di tingkat. melihat prestasi pembangunannya selalu gemilang maka bantuan demibantuan selalu terkucur dari pusat, hingga sekarang secara fisik MI Maarif Guntur sudah tidak ketinggalan dengan sekolah-sekolah lain. tahun 2010 ini juga mendapat bantuan yang rencananya untuk merehab atab dan bagian-bagian yang lain yang perlu untuk di perbaiki.

Tuesday, September 7, 2010

Tradisi Lebaran di Kalipancer


Sungguh setiap desa atau daerah biasa mempunyai tradisi yang di bangun secara turun menurun, seperti halnya tradisi masyarakat kalipancer dalam menrayakan Idul Fitri mestinya agak berbeda dengan tradisi-tradisi yang ada di daerah lain, apalagi bila di samakan dengan tradisi-tradisi daerah sedunia jelas akan nampak sekali perbedaannya.
Di daerah kalipancer masyarakat setelah melaksanakan sholat ied berjamaah di masjid biasa saling silaturahmi, masing-masing yang merasa masih muda akan berjalan mengelilingi kampung mamasuki semua rumah yang ada penghuninya, untuk berkunjung dan meminta maaf satu persatu dengaan sohibul bait. aktifitas ini dilakukan dengan ikhlas dan hati senang walau terasa capek, karena sekampungan harus di kunjungi satu persatu.
Orang tua wajib di kunjungi karena dianggap sebagai pepunden, untuk itu walau tidak pernah berbuat salah dengan mereka tetap di kunjungi kerumahnya untuk meminta maaf, prinsipnya adalah mumpung mereka belum meninggal dunia.
Lafal yang di ucapkan untuk meminta maaf kepada para sesepuh adalah lafal yang telah di gubah oleh nenek moyang yang di lestarikan secara turun menurun. Adapun kalimat yang biasa mereka ganakan adalah berbunyi :
"mboten njawi ngaturaken kalepatan kawulo sedoyo kalepatan nyuwun agunging pangapunten" kemudian orang tua biasa menjawab dengan kalimat " yo podo-podo doso kulo doso sampen kulo wong tuwo sadermo nekseni guti aloh seng awek pangapuro". nak-anak dalam meminta maaf masih menggunakan tradisi kuno yaitu dengan cara sungkem di pangkuan orang tua yang di mintai maaf tersebut.
Trdisi yang lain yaitu pada saat bulan puasa hingga menjelang malam hari raya anak-anak serta remaja gemar bermain long bumbung, yaitu semacam meriam imitasi yang di buat dari bambu wulung atau bambu petung. long bumbung ini kalo dinyalakan suaranya menggelegar sepeti meriam, cara membunyikannya yaitu dengan miyak tanah atau bisa juga dengan karbit. long bumbung di kalipancer sangat ngetrend walau ini merupakan tradisi jaman bahulak, buktinya hingga sekarang anak-anak masih semangat bermain long bumbung, bahkan pada puncaknya yaitu malam hari raya sering mengadakan pesta long bumbung yang di kenal dengan ungkrusan long bumbung, yaitu kompetisi antara dua kelompok atau lebih untuk rame-ramean dan tahan-tahanan menyalakan long bumbung.
Ini adalah merupakan tradisi unik yang perlu di lestarikan, jangan sampai tradisi ini di ganti dengan tradisi barat yang tidak sesuai dengan norma, seperti merayakan lebaran dengan miras dan narkoba, untuk itu long bumbung adalah merupakan budaya kreatif lama yang perlu di lestarikan sebagai penagkal budaya - budaya negatif yang sekarang ini mulai mempengaruhi pola hidup remaja modern.

Thursday, August 26, 2010

Tradisi Yang Meski Dijaga


Dusun Kalipancer masih kaya akan tradisi warisan para nenek moyang, diantaranya yang masih kita temukan adalah kegiatan menjelang bulan ramadhan masyarakat mengadakan kerja bhakti membersihkan makam-makam para leluhurnya, dan juga membersihkan tempat-tempat ibadah seperti masjid dan mushola.
Kegiatan yang mereka lakukan di bulan Ramadhan yakni menghidupkan malam di bulan ramadhan, di antaranya dengan melaksanakan solat tarowih secara berjamaah, kultum dan tadarus. Suasana yang lain yang mungkin berbeda dengan tradisi daerah-daerah yang lain adalah adanya pujian sehabis melaksanakan solat tarowih. Pujian atau tembang ii adalah merupakan hasil karya nenek moyang yang hingga kini tanpa tertulis masih terpelihara dengan baik. Pijian di nyanyikan bersama-sama para jamaah sholat tarowih dengan di iringi beduk dan kentongan. Irinagn beduk dan kentongan ini di sebut dengan tedur, jumlah alat musik ini terdiri dari 1 beduk tinggalan nenek moyang dan 2 buah kentongan.
adapun bunyi dari pijian bakda tarowih karya nenek moyang tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :
eling-eling.......siro menungngso.....kabeh iku nemenono......
podo ngaji..... ala.....mumpung durung....katakanan moloikat juru pati.....
luwih loro....luwih susah rasane wong ono ing neroko......
klabang kures....kolo jengking....klabang geni ulo geni.........
rante geni....godo geni.....cawisane wong kang doso......
gumampang dawuh pangeran........gumampang tinggal sembahyang.....

luwih mulyo.....luwih mukti.....rasane....wong ono ing suwargi.......
pitung puluh loro ping pitung puluh loro wilangane widadari.....
kasur babut samuderani....cawisane wong kang bekti.....
allohu tangala kang momo suci.....ya... alllo robal ngalamin.....

ya.....alloh pengeran kulo.....nabi muhammad nabi kulo....kitab kur'an kitab kulo ......
agomo islam agomo kulo......baitullah kiblat kulo.......mukmin jaler mukmiin estri....sedoyo dederek kawulo.........

Demikian penggalan Syair yang sering di dendangakan para jamaah tarowih di desa kalipancer yang merupakan peninggalan karya sastra nenek moyang. Setelah selesai biasanya di isi kultum oleh pak kyai dan di lanjutkan tadarus al qura'an secara bersama-sama........amin

Friday, August 20, 2010

Kyai Selo Branti

Melalui tutur tinular saya mencoba mengangkat riwayat Kyai Selo Branti yang melegenda di desa kalipancer. sebetulnua ia tidak berdomisili di kalipancer namun karena tedak turunnya banyak yang bermukim di kalipancer maka saya mencoba mengangkat cerita kyai Selo Branti berdasarkan tutur tinular dari nenek moyang secara turun mrnurun. Dikalangan anak muda mungkin sedikit yang mengenal namanya, hal ini di karenakan tidak adanya riwayat yang tersurat dalam catatan-catatan kuno atau kitab serat sesepuh. untuk itu derngan di tulisnya riwayat ini di harapkan ia bisa di kenal di sepanjang masa sehingga riwayat berharga ini didak punak di telan bumi begitu saja. Sangat di sayangkan sekali kalau nama beliau sampai tidak di kenal oleh oleh tedak turun khususnya dan masyatrakat indonesia khususnya, karena ia adalah salah satu tokoh pentolan dan garis depan dalam perjuangan melawan para penjajah belanda pada jaman kerajaan mataram. Ia banyak berperan dalam rangka mengusir para penjajah di muka bumi indonesia, mulai dari memasa bergabung dengan para prajurit mataram maupun setelah terpisah dari rombongan prajurit. Selo Branti memimpin perjuangan rakyat jelata serta memberi motifasi kepada rakyat agar jangan rela tanah kelahirannya di injak-injak dan di kuasai kaum penjajah.
Dalam serat silsilah yang di tulis oleh kyai sabikis (1890 an) tertulis bahwa Kyai Selo Branti adalah anak dari Ki Ageng Selo, yang di maksud anak disini adalah kemungkinan bisa berarti anak kandung, namun bisa mungkin berarti murid. Namun di lihat dari riwayat kesaktiannya ia pantas di anggap sebagai murid atau anak turun ki Ageng selo, menurut cerita orang bahari perjuangan selo Branti melawan Penjajah belanda dengan kesaktiannya bisa di hadapi dengan mudah, pasukan belanda yang bersenjatakan meriam dan senapan oleh Selo Branti cukup di hadapi dengan Taburan Merang mereka sudah lari tunggang langgang, Bahkan makamnya Selo Branti sampai sekarangpun masih mengandung misteri kesaktian. Hal ini di rasakan oleh masyarakat sebelum makam tersebut di tawarkan (di netralkan) apabila melewati makam tersebut kemudian bayangan orang yang lewat mengenai makam Selo Branti maka ia akan pingsan di tempat, jadi jara berkunjung ataupun melewati di sampingnya harus di siasati yaitu apabila arah sinar matahari dari timur maka orang yang merkunjung atau melewati harus berposisi di sebelah barat makam agar bayangan tidak jatuh ke makam mbah selo Branti. Demikian kalo sore hari harus sebaliknya cara di atas. Makam Selo Branti berada di daerah Jlamprang, Kali Urip, Bener, Purworejo sampai sekarang masih banyak di ziarahi oleh orang-orang yang tahu dan tedak turun yang berasal dari kalipancer, magelang,bener dll.
masih menjadi sebuah pertanyaan kenapa Selo Branti Parjurit Kerajaan biss berdomisili di wilayah kecamatan Bener? jawabannya tidak ada yang tahu persis karena orang sesepuh yang bisa kita cari ceritanya sebagai informan tidak ada lagi. Namun dari anak cucu ada yang memprediksi bahwa ia bisa tinggal dan punya anak turun di wilayah kecamatan bener mungkin karena ia adalah orang yang sakti mandraguna yang kebetulan waktu itu terpisah dengan kelompok prajurit mataram dan mampir istirahat di wilayah tersebut, untuk itu tak heran apabila banyak masyarakat yang mengharapkan pengayoman padanya, karena masyarakat awam begitu takut dengan kekejaman penjajah. Karena di harapkan oleh masyarakat sebagai pengayom maka ia disuruh menetap di wilayah tyersebut dan di nikahkan dengan wanita setempat. Ian dijadikan sebagai pepunden dan secara langsung guru pembinaan olah kanuragan para pemuda dalam rangka melwan penjajah belanda.