Tulisan ini merupakan upaya rekonstruksi sejarah lokal yang bersumber dari
penuturan lisan aparat desa Guntur, Mas Alim, mengenai tokoh spiritual
legendaris Ki Guntur Geni. Dinarasikan bahwa tokoh ini memiliki keterkaitan
dengan Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, yang konon moksa namun sejatinya
mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan dan menyamar sebagai rakyat biasa demi
menjalankan ajaran Islam. Melalui pendekatan historis dan etnografis, artikel
ini mengeksplorasi bagaimana identitas, dakwah, dan kesenian menjadi instrumen
transformasi sosial keagamaan dalam masyarakat Jawa pasca-Majapahit.
Penelusuran sejarah
lokal di Jawa seringkali bersinggungan dengan legenda, mitos, dan narasi
spiritual yang diturunkan secara lisan. Salah satunya adalah kisah tentang Ki
Guntur Geni, sosok yang oleh sebagian masyarakat diyakini sebagai identitas
baru dari Brawijaya V, raja terakhir Majapahit yang memutuskan
menghilang dari pentas politik kerajaan demi menghindari konflik keagamaan yang
sensitif pada masa transisi antara Hindu-Buddha ke Islam. Penelitian ini
bertumpu pada data naratif yang dihimpun dari Mas Alim, seorang aparat Desa
Guntur, yang menjadi penjaga ingatan kolektif masyarakat lokal.
Dalam narasi tentang Ki Guntur Geni memperlihatkan kerangka
sejarah lokal yang sarat nilai spiritual dan simbolik, dengan menyebut bahwa
tokoh ini sejatinya adalah Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, yang
mengundurkan diri untuk menghindari konflik keagamaan dalam proses transisi
dari Hindu-Buddha ke Islam. Narasi ini sejalan dengan banyak legenda di Jawa
yang menggambarkan para tokoh besar—seperti Brawijaya V atau Prabu
Kertabumi—sebagai figur yang mengalami transformasi identitas demi meredakan
ketegangan politik-religius pada masa keruntuhan Majapahit.
Literatur ilmiah seperti karya M.C. Ricklefs dalam Mystic Synthesis in Java
menguatkan bahwa Islamisasi di Jawa tidak berlangsung secara radikal, tetapi
lebih bersifat gradual dan akomodatif, terutama melalui peran para wali dan tokoh spiritual
yang mengadopsi media budaya lokal seperti wayang, gamelan, dan seni
pertunjukan lainnya. Ini sejalan dengan metode dakwah Ki Guntur Geni yang
menggunakan kesenian Lengger
dan topeng sebagai sarana untuk menarik massa, sebelum menyampaikan ajaran
Islam melalui kitab suci.
Selain itu, de Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa
juga menunjukkan bahwa Islam masuk ke kalangan elite dan rakyat melalui jalur
kultural dan ekonomi, bukan dengan penaklukan. Hal ini tampak dalam narasi Ki
Guntur Geni yang memilih menyamar sebagai rakyat biasa untuk menyebarkan ajaran
Islam secara damai, bukan dengan kekuasaan.
Namun demikian, dari sisi historiografi modern, klaim bahwa
Brawijaya V menjadi seorang ulama atau tokoh penyebar Islam belum dapat
diverifikasi secara dokumenter. Tidak ada bukti tertulis yang secara eksplisit
menyatakan bahwa Brawijaya V menjadi tokoh Islam. Hal ini lebih merupakan
bagian dari "sejarah mistik" atau local
memory, yang memperkuat identitas komunitas.
Dengan demikian, pendahuluan narasi ini mendukung gambaran
besar tentang Islamisasi Jawa sebagai proses yang damai dan terinternalisasi
dalam budaya lokal. Walau bercampur dengan mitos, narasi ini penting dalam
memahami bagaimana masyarakat menafsirkan sejarah dan membentuk identitas
religius mereka melalui lensa lokal dan spiritual.
Menurut sumber lisan
tersebut, Brawijaya V tidak mengalami moksa secara literal, melainkan menyamar
sebagai rakyat biasa dan mengasingkan diri ke wilayah pedalaman, tepatnya di
kawasan pinggiran Sungai Bogowonto. Tujuan utama pengasingan ini adalah untuk
menyebarkan ajaran Islam secara damai tanpa mencederai perasaan rakyatnya yang
mayoritas masih memeluk agama Hindu-Buddha.
Dalam masa pengasingan
tersebut, sang raja mengganti namanya menjadi Kyai Guntur Geni. Ia
membawa dua simbol penting: sebuah kitab suci sebagai sumber ajaran
Islam, dan sebuah topeng sebagai media dakwah. Metode dakwah yang ia
gunakan unik—melalui kesenian rakyat yang disebut Lengger. Topeng
menjadi alat pemikat dalam pertunjukan, sementara isi dakwah disampaikan
setelah masyarakat berkumpul.
dalam narasi Ki Guntur Geni memuat klaim bahwa Brawijaya V
tidak moksa sebagaimana sering dikisahkan dalam legenda Majapahit, melainkan
mengundurkan diri dari kekuasaan dan menyamar sebagai rakyat biasa untuk
memeluk dan menyebarkan ajaran Islam. Ia disebut mengganti identitas menjadi
Kyai Guntur Geni dan menyebarkan Islam secara kultural melalui kesenian Lengger. Narasi ini
memperlihatkan suatu bentuk transformasi spiritual seorang pemimpin
Hindu-Buddha menjadi pengemban dakwah Islam, yang dinarasikan dengan cara yang
simbolik dan kultural.
Narasi ini, meskipun bersifat lokal dan mistis, memiliki
kemiripan struktural dengan berbagai legenda di Jawa yang mengaitkan tokoh
kerajaan Hindu-Buddha dengan tokoh Islam. Dalam Mystic Synthesis in Java, M.C. Ricklefs
menjelaskan bahwa proses Islamisasi di Jawa berlangsung melalui pendekatan
spiritual yang tidak frontal. Pergeseran dari kepercayaan lama menuju Islam
tidak menimbulkan konflik besar, melainkan seringkali dileburkan secara
simbolik dalam cerita rakyat, kesenian, dan praktik keagamaan lokal. Hal ini
sangat tampak dalam tokoh Ki Guntur Geni yang dikisahkan membawa kitab suci dan
topeng, dua simbol yang mencerminkan kombinasi dakwah dan budaya.
Kisah Brawijaya V yang konon menjadi muslim juga dikenal
dalam legenda-legenda Walisongo, khususnya dalam kisah Sunan Kalijaga. Beberapa
versi Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Brawijaya memiliki hubungan dengan
para wali, bahkan disebut-sebut sebagai ayah dari Raden Patah, pendiri
Kesultanan Demak. Meski aspek genealogi ini masih diperdebatkan secara
akademik, ia menunjukkan adanya konstruksi sejarah yang mencampurkan unsur
politik, spiritual, dan kultural untuk menjelaskan transisi Islamisasi secara
damai.
Namun, jika ditinjau secara historis-kritis, tidak terdapat
bukti primer yang menyatakan secara pasti bahwa Brawijaya V masuk Islam dan
menjadi penyebar agama tersebut. Sejarawan seperti H.J. de Graaf dan T.H.
Pigeaud dalam Kerajaan Islam
Pertama di Jawa lebih berhati-hati dan menyatakan bahwa kemungkinan
besar Brawijaya V tetap berada dalam sistem kepercayaan Hindu-Buddha, sementara
peralihan kekuasaan ke tangan Demak merupakan hasil dinamika sosial-politik dan
dukungan dari kelompok Islam yang tumbuh di wilayah pesisir.
Meskipun demikian, narasi tentang transformasi Brawijaya
menjadi Kyai Guntur Geni sangat penting dalam konteks memori kolektif
masyarakat lokal. Ia memperlihatkan bagaimana masyarakat memaknai transisi
keagamaan sebagai peristiwa spiritual yang terinternalisasi secara damai dalam
budaya. Bahkan lebih jauh, ia menunjukkan adanya penghargaan terhadap
pendekatan dakwah yang adaptif, kreatif, dan penuh kebijaksanaan.
Kesimpulannya, bagian ini mencerminkan bentuk khas Islamisasi
Jawa yang mengedepankan harmoni dan sinkretisme, meskipun tidak selalu sejalan
dengan bukti historis formal. Ia memperkuat pemahaman kita bahwa sejarah
Islamisasi bukan hanya milik teks resmi, tetapi juga hidup dalam tradisi tutur
dan simbolisme lokal.
Dalam akhir hidupnya,
Kyai Guntur Geni menghanyutkan dua peninggalannya—kitab suci dan
topeng—masing-masing dalam besek (wadah anyaman bambu). Tempat pertama
hanyutnya benda-benda tersebut dikenal sebagai Kedung Sebesek. Arus
kemudian membawa kedua besek itu hingga ke suatu tempat yang dinamakan Setaunan,
karena benda-benda tersebut tidak tersentuh oleh manusia selama setahun.
Setelah setahun, salah
satu besek yang berisi topeng diambil dan menjadi dasar berkembangnya kesenian
Lengger di Desa Jolodoro. Keunikan Lengger Jolodoro terletak pada lirik dan
nyanyiannya yang mengandung pesan dakwah Islam, berbeda dari daerah lain.
Adapun besek berisi kitab kembali dihanyutkan dan sempat tersangkut di wilayah
yang kemudian disebut Kali Malang. Akhirnya, kitab tersebut ditemukan
oleh Mbah Imampuro di kawasan Purworejo. Dari kitab inilah, Mbah
Imampuro menjadi tokoh ulama yang berpengaruh, dan keturunannya dikenal sebagai
orang-orang alim.
“Warisan Simbolik”
dalam narasi Ki Guntur Geni menggambarkan bagaimana peninggalan spiritual—yakni
kitab suci dan topeng—dihanyutkan di
Sungai Bogowonto dan kemudian membentuk nama-nama tempat yang hidup hingga
kini: Kedung Sebesek, Setaunan, dan Kali Malang. Narasi ini tidak hanya
menciptakan simbol geografis dari jejak spiritual masa lalu, namun juga
menyiratkan bagaimana Islamisasi tidak hadir dalam bentuk dominasi struktural,
melainkan melalui proses kultural dan mistikal yang mendalam.
Dari perspektif historiografi Islam Jawa, fenomena ini
mencerminkan praktik transmisi Islam melalui pendekatan sufistik dan simbolik,
yang lazim digunakan para ulama dan wali pada abad ke-15 hingga 17. Dalam
kajian Mystic Synthesis in
Java oleh M.C. Ricklefs, dijelaskan bahwa penyebaran Islam di Jawa
ditopang oleh kekuatan mistik yang membaurkan ajaran tasawuf dengan sistem
nilai lokal. Hal ini dilakukan demi menjembatani keberterimaan masyarakat yang
sebelumnya memeluk kepercayaan Hindu-Buddha. Dalam konteks ini, tindakan
menghanyutkan kitab dan topeng dapat dibaca sebagai bentuk ritualisasi transisi spiritual,
yang mengandung unsur pengorbanan, pelestarian nilai, sekaligus pembentukan
memori kolektif.
Kedung Sebesek, sebagai tempat awal hanyutnya simbol-simbol
tersebut, memiliki makna penting. “Besek” sebagai wadah bambu tradisional,
merupakan simbol kesederhanaan dan penyimpanan sesuatu yang berharga. Narasi
ini memperlihatkan bagaimana warisan spiritual Islam dikemas dalam
simbol-simbol lokal yang familiar bagi masyarakat Jawa. Lalu Setaunan, tempat
di mana benda-benda itu tertahan selama satu tahun tanpa dijamah, mencerminkan
keyakinan akan kesakralan objek dakwah. Ini menyerupai konsep barakah dalam Islam, yakni
kekuatan spiritual yang melekat pada benda atau tempat tertentu dan tidak bisa
sembarangan disentuh.
Ketika besek berisi topeng diambil dan menjadi cikal bakal
berkembangnya kesenian Lengger
di Jolodoro, ini memperlihatkan strategi dakwah melalui kebudayaan, yang sangat
khas dalam sejarah Islamisasi Jawa. Seperti dicatat oleh H.J. de Graaf dan T.H.
Pigeaud dalam Kerajaan Islam
Pertama di Jawa, bentuk kesenian seperti wayang, gamelan, dan
tarian tradisional sering digunakan para ulama untuk menarik masyarakat sebelum
menyisipkan pesan dakwah. Topeng dalam konteks ini bukan sekadar alat hiburan,
tetapi menjadi media dakwah
terselubung, sejalan dengan metode para wali dalam mengislamkan masyarakat melalui
pendekatan estetika.
Sementara itu, kitab yang terus hanyut hingga ditemukan oleh
Mbah Imampuro, yang kemudian menjadi ulama, memperlihatkan gagasan bahwa ilmu atau hidayah Islam
menyebar secara selektif dan tertuju kepada orang yang siap menerimanya.
Penemuan kitab tersebut menjadi legitimasi spiritual bagi Mbah Imampuro dan
keturunannya sebagai pewaris ajaran Ki Guntur Geni. Ini selaras dengan
pandangan kosmologis Jawa, di mana warisan spiritual sering kali dianggap
mengalir melalui garis-garis yang tidak kasatmata, bukan semata keturunan
darah.
Kali Malang—tempat kitab sempat tersangkut—menunjukkan
pentingnya simbol geografis dalam memori Islamisasi. Penamaan ini menjadi
bentuk penyatuan antara unsur alam dan spiritual dalam budaya Jawa-Islam.
Dengan demikian, bagian “Warisan Simbolik” tidak hanya
mengandung narasi folklorik, tetapi juga menggambarkan strategi Islamisasi yang
halus, transformatif, dan berakar kuat pada tradisi lokal. Ia memperkuat
gambaran bahwa sejarah Islamisasi Jawa adalah sejarah dialog—antara kepercayaan
lama, ajaran baru, serta lanskap budaya yang menyatukan keduanya.
Salah satu ciri khas
dari makam Kyai Guntur Geni adalah ketidaksanggupannya untuk didirikan bangunan
cungkup. Dikatakan bahwa setiap kali dibangun bangunan di atasnya, maka akan
terbakar, kecuali jika pembangunan dilakukan oleh keturunan beliau dari Desa
Guntur. Hal yang sama juga terjadi pada makam Mbah Imampuro, yang menguatkan
dugaan adanya hubungan spiritual antara kedua tokoh tersebut.
Bagian “Jejak Sakral” dalam narasi Ki Guntur Geni memuat
kisah mistikal terkait makam tokoh yang diyakini sebagai Brawijaya V dalam
wujud Kyai Guntur Geni, beserta Mbah Imampuro, yang disebut tidak bisa dibangun
cungkup karena selalu terbakar, kecuali oleh orang-orang Guntur sebagai
keturunan spiritual. Fenomena ini menunjukkan jejak kepercayaan masyarakat
terhadap kesakralan tempat,
warisan spiritual,
dan hubungan karomah
atau keberkahan tokoh-tokoh tertentu—sebuah konsep yang sangat kuat dalam
tradisi Islam lokal di Jawa.
Dalam kajian Islamisasi Jawa, khususnya dalam studi M.C.
Ricklefs (Mystic Synthesis
in Java), makam tokoh-tokoh sufi, wali, dan guru spiritual
memainkan peran sentral sebagai pusat ziarah (ziarah kubur), penguatan identitas Islam,
serta penjaga nilai-nilai moral dan budaya. Kepercayaan bahwa cungkup makam
bisa terbakar jika dibangun oleh pihak yang "tidak berhak"
mencerminkan keyakinan akan eksklusivitas spiritual yang diwariskan secara
garis batin atau wilayah
ruhaniyah—tidak selalu melalui keturunan biologis.
Kisah ini juga mencerminkan pandangan masyarakat Jawa tentang
adanya hubungan metafisis antara manusia dan ruang sakral. Dalam konteks ini,
masyarakat mempercayai bahwa tempat seperti makam Kyai Guntur Geni bukan hanya
sebagai tempat peristirahatan terakhir, tetapi sebagai portal spiritual yang
memiliki batasan-batasan moral tertentu. Jika batas itu dilanggar, misalnya
membangun cungkup tanpa izin “batiniah”, maka konsekuensinya bersifat
gaib—seperti kebakaran.
Narasi ini sejalan dengan praktik ziarah wali di pesisir
utara Jawa, seperti makam Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, atau Sunan Giri, di
mana makam bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga situs pendidikan,
penguatan legitimasi sosial, dan pelestarian nilai. Bahkan dalam Babad Tanah Jawi atau Serat Centhini,
kisah-kisah serupa tentang “makam yang tidak bisa sembarang diurus” kerap
muncul sebagai simbol keterhubungan manusia dengan dunia ghaib.
Kesimpulannya, bagian “Jejak Sakral” menggambarkan bagaimana
warisan mistikal Islam di Jawa tidak hanya tertanam dalam doktrin, tapi juga
dalam praktik budaya, simbol-simbol tempat, dan penghormatan terhadap tokoh
suci. Ia menegaskan bahwa Islamisasi Jawa adalah sebuah sintesis antara
spiritualitas Islam dan kosmologi lokal yang penuh makna simbolik.
Narasi lokal juga
menyebutkan adanya ayam jago milik Kyai Guntur Geni yang dipercaya memiliki
kesaktian. Ayam yang diyakini sebagai titisan atau keturunan dari ayam jago
tersebut konon tidak pernah kalah dalam pertarungan ayam. Mitos ini menjadi
simbol kekuatan spiritual dan keberlanjutan kekuatan non-fisik yang diwariskan
secara turun-temurun.
Bagian ini mengisahkan kepercayaan masyarakat terhadap ayam
jago milik Kyai Guntur Geni yang dianggap memiliki kesaktian dan menurunkan
kekuatan supranatural pada keturunannya. Ayam-ayam yang diyakini memiliki
“darah” atau hubungan dengan ayam Kyai Guntur Geni disebut tak pernah kalah
saat diadu. Ini memperlihatkan satu pola khas dalam spiritualitas lokal Jawa,
yakni animisme yang diserap
ke dalam tradisi Islam sufistik, yang meyakini bahwa kekuatan
spiritual tokoh suci dapat “menitis” atau diwariskan bahkan pada binatang
peliharaan.
Dalam tradisi Islamisasi Jawa, sebagaimana dijelaskan oleh
Mark R. Woodward dalam Islam
in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta,
kepercayaan terhadap benda-benda, hewan, atau pusaka yang memiliki barakah (berkah spiritual)
adalah bagian dari praktik keagamaan populer yang berkembang di luar struktur
Islam ortodoks. Fenomena ini bukan sekadar kepercayaan takhayul, tetapi
seringkali dijadikan sebagai bentuk konkret dari hubungan antara manusia, alam,
dan kekuatan ilahiah melalui wasilah (perantara).
Ayam jago dalam konteks ini tidak hanya simbol kekuatan
fisik, tetapi juga simbol maskulinitas, keberanian, dan keberuntungan dalam
budaya Jawa. Dalam teks klasik seperti Serat
Centhini, binatang—termasuk ayam—kadang dianggap sebagai penanda
spiritualitas atau pembawa pertanda dari dunia gaib. Kisah tentang ayam yang
mewarisi kesaktian ini memperlihatkan bahwa masyarakat menginternalisasi
nilai-nilai kepahlawanan dan spiritualitas tokoh seperti Kyai Guntur Geni dalam
bentuk-bentuk yang konkret dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Jika dibandingkan dengan praktik Islam ortodoks, tentu hal
ini bisa dianggap sebagai bentuk sinkretisme,
namun dalam konteks sejarah Islamisasi Jawa, inilah cara paling efektif bagi
dakwah untuk diterima masyarakat. Pengaruh tokoh spiritual tidak berhenti pada
dakwah verbal, tetapi juga menjelma menjadi mitos yang hidup dan diwariskan
secara turun-temurun, seperti pada kisah ayam jago tersebut.
Dengan demikian, simbolisme ayam jago mencerminkan satu
bentuk pelestarian memori spiritual dan karomah tokoh agama dalam wujud yang
khas Jawa. Ia menegaskan bahwa Islamisasi di Jawa bukan hanya masuk ke akal,
tetapi juga menyatu dalam alam rasa, mitos, dan simbol-simbol kehidupan rakyat.
Kisah Kyai Guntur Geni
merupakan narasi penting dalam pemahaman sejarah Islamisasi Jawa yang
berlangsung secara halus dan kultural. Pendekatan dakwah melalui kesenian
menunjukkan strategi adaptif dan akomodatif yang dilakukan oleh tokoh Islam
awal terhadap kultur lokal. Kisah ini juga menunjukkan bagaimana sejarah tidak
hanya ditulis dalam dokumen resmi, namun juga hidup dalam ingatan masyarakat
yang dikemas dalam bentuk cerita, nama-nama tempat, dan tradisi.
Daftar Pustaka
sumber lisan, sumber pustaka utama adalah
wawancara dengan Mas Alim, aparat Desa Guntur