Monday, November 1, 2010

Perkembangan MI Maarif Guntur


Madrasah Ibtidaiyah Guntur adalah merupakan lembaga pendidikan maarif di bawah naungan organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yaitu NU (Nahdltaul Ulama), sehingga madrasah ini di namakan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Maarif Guntur. Dalam perjalannanya menuju sebuah sekolah yang maju sekolah ini banyak kenangan serta sejarah yang sangat menarik.

Pada awalnya sekolah ini adalah merupakan kegiatan madrasah diniyah di masjil almuttaqin, padawaktu itu pendirinya adalah bapak muhyani (sekarang dikenal Bp. Fatkhurrahman), melihat madrasah yang di bertuk beliau semakin maju maka pemerintah memberikan bantun tenaga pengajar berstatus PNS yang sekaligus sebagai kepala sekolahnya yaitu Bapak Rohmad dari desa Guntur. Beberapa tahun kemudia pemerintah mengucurkan dana untuk pendirian gedung MI Guntur yang pada waktu itu bernama MI P2A , ahirnya dibangunlah gedung dengan batu bata dengan bentuk fisik seadanya karena keterbatasan dana, tembok tanpa plaster sehingga bila untuk bersandar cukup mengotorkan pakaian. Namun dengan keterbatasan prasarana tersebut tidak memudarkan semangat guru dan murid dalam aktifitas belajar mengajar. Baru sekitar tahun 1987 pemerinta memberikan bantuan rehab berat, ahirnya gedung yang pertama di bongkar dan di ganti dengan gedung baru berjumlah 3 lokal.

Setelah berjalan kurang lebih 15 tahun MI Guntur mendapatkan bantian lagi dari pemerintah pada tahun 2002 maka secara swakelola dana tersebut di gunakan untuk menambah lokal, mengingat areal MI yang sangat terbatas maka pengembangannya dengan cara di tingkat. melihat prestasi pembangunannya selalu gemilang maka bantuan demibantuan selalu terkucur dari pusat, hingga sekarang secara fisik MI Maarif Guntur sudah tidak ketinggalan dengan sekolah-sekolah lain. tahun 2010 ini juga mendapat bantuan yang rencananya untuk merehab atab dan bagian-bagian yang lain yang perlu untuk di perbaiki.

Tuesday, September 7, 2010

Tradisi Lebaran di Kalipancer


Sungguh setiap desa atau daerah biasa mempunyai tradisi yang di bangun secara turun menurun, seperti halnya tradisi masyarakat kalipancer dalam menrayakan Idul Fitri mestinya agak berbeda dengan tradisi-tradisi yang ada di daerah lain, apalagi bila di samakan dengan tradisi-tradisi daerah sedunia jelas akan nampak sekali perbedaannya.
Di daerah kalipancer masyarakat setelah melaksanakan sholat ied berjamaah di masjid biasa saling silaturahmi, masing-masing yang merasa masih muda akan berjalan mengelilingi kampung mamasuki semua rumah yang ada penghuninya, untuk berkunjung dan meminta maaf satu persatu dengaan sohibul bait. aktifitas ini dilakukan dengan ikhlas dan hati senang walau terasa capek, karena sekampungan harus di kunjungi satu persatu.
Orang tua wajib di kunjungi karena dianggap sebagai pepunden, untuk itu walau tidak pernah berbuat salah dengan mereka tetap di kunjungi kerumahnya untuk meminta maaf, prinsipnya adalah mumpung mereka belum meninggal dunia.
Lafal yang di ucapkan untuk meminta maaf kepada para sesepuh adalah lafal yang telah di gubah oleh nenek moyang yang di lestarikan secara turun menurun. Adapun kalimat yang biasa mereka ganakan adalah berbunyi :
"mboten njawi ngaturaken kalepatan kawulo sedoyo kalepatan nyuwun agunging pangapunten" kemudian orang tua biasa menjawab dengan kalimat " yo podo-podo doso kulo doso sampen kulo wong tuwo sadermo nekseni guti aloh seng awek pangapuro". nak-anak dalam meminta maaf masih menggunakan tradisi kuno yaitu dengan cara sungkem di pangkuan orang tua yang di mintai maaf tersebut.
Trdisi yang lain yaitu pada saat bulan puasa hingga menjelang malam hari raya anak-anak serta remaja gemar bermain long bumbung, yaitu semacam meriam imitasi yang di buat dari bambu wulung atau bambu petung. long bumbung ini kalo dinyalakan suaranya menggelegar sepeti meriam, cara membunyikannya yaitu dengan miyak tanah atau bisa juga dengan karbit. long bumbung di kalipancer sangat ngetrend walau ini merupakan tradisi jaman bahulak, buktinya hingga sekarang anak-anak masih semangat bermain long bumbung, bahkan pada puncaknya yaitu malam hari raya sering mengadakan pesta long bumbung yang di kenal dengan ungkrusan long bumbung, yaitu kompetisi antara dua kelompok atau lebih untuk rame-ramean dan tahan-tahanan menyalakan long bumbung.
Ini adalah merupakan tradisi unik yang perlu di lestarikan, jangan sampai tradisi ini di ganti dengan tradisi barat yang tidak sesuai dengan norma, seperti merayakan lebaran dengan miras dan narkoba, untuk itu long bumbung adalah merupakan budaya kreatif lama yang perlu di lestarikan sebagai penagkal budaya - budaya negatif yang sekarang ini mulai mempengaruhi pola hidup remaja modern.

Thursday, August 26, 2010

Tradisi Yang Meski Dijaga


Dusun Kalipancer masih kaya akan tradisi warisan para nenek moyang, diantaranya yang masih kita temukan adalah kegiatan menjelang bulan ramadhan masyarakat mengadakan kerja bhakti membersihkan makam-makam para leluhurnya, dan juga membersihkan tempat-tempat ibadah seperti masjid dan mushola.
Kegiatan yang mereka lakukan di bulan Ramadhan yakni menghidupkan malam di bulan ramadhan, di antaranya dengan melaksanakan solat tarowih secara berjamaah, kultum dan tadarus. Suasana yang lain yang mungkin berbeda dengan tradisi daerah-daerah yang lain adalah adanya pujian sehabis melaksanakan solat tarowih. Pujian atau tembang ii adalah merupakan hasil karya nenek moyang yang hingga kini tanpa tertulis masih terpelihara dengan baik. Pijian di nyanyikan bersama-sama para jamaah sholat tarowih dengan di iringi beduk dan kentongan. Irinagn beduk dan kentongan ini di sebut dengan tedur, jumlah alat musik ini terdiri dari 1 beduk tinggalan nenek moyang dan 2 buah kentongan.
adapun bunyi dari pijian bakda tarowih karya nenek moyang tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :
eling-eling.......siro menungngso.....kabeh iku nemenono......
podo ngaji..... ala.....mumpung durung....katakanan moloikat juru pati.....
luwih loro....luwih susah rasane wong ono ing neroko......
klabang kures....kolo jengking....klabang geni ulo geni.........
rante geni....godo geni.....cawisane wong kang doso......
gumampang dawuh pangeran........gumampang tinggal sembahyang.....

luwih mulyo.....luwih mukti.....rasane....wong ono ing suwargi.......
pitung puluh loro ping pitung puluh loro wilangane widadari.....
kasur babut samuderani....cawisane wong kang bekti.....
allohu tangala kang momo suci.....ya... alllo robal ngalamin.....

ya.....alloh pengeran kulo.....nabi muhammad nabi kulo....kitab kur'an kitab kulo ......
agomo islam agomo kulo......baitullah kiblat kulo.......mukmin jaler mukmiin estri....sedoyo dederek kawulo.........

Demikian penggalan Syair yang sering di dendangakan para jamaah tarowih di desa kalipancer yang merupakan peninggalan karya sastra nenek moyang. Setelah selesai biasanya di isi kultum oleh pak kyai dan di lanjutkan tadarus al qura'an secara bersama-sama........amin

Friday, August 20, 2010

Kyai Selo Branti

Melalui tutur tinular saya mencoba mengangkat riwayat Kyai Selo Branti yang melegenda di desa kalipancer. sebetulnua ia tidak berdomisili di kalipancer namun karena tedak turunnya banyak yang bermukim di kalipancer maka saya mencoba mengangkat cerita kyai Selo Branti berdasarkan tutur tinular dari nenek moyang secara turun mrnurun. Dikalangan anak muda mungkin sedikit yang mengenal namanya, hal ini di karenakan tidak adanya riwayat yang tersurat dalam catatan-catatan kuno atau kitab serat sesepuh. untuk itu derngan di tulisnya riwayat ini di harapkan ia bisa di kenal di sepanjang masa sehingga riwayat berharga ini didak punak di telan bumi begitu saja. Sangat di sayangkan sekali kalau nama beliau sampai tidak di kenal oleh oleh tedak turun khususnya dan masyatrakat indonesia khususnya, karena ia adalah salah satu tokoh pentolan dan garis depan dalam perjuangan melawan para penjajah belanda pada jaman kerajaan mataram. Ia banyak berperan dalam rangka mengusir para penjajah di muka bumi indonesia, mulai dari memasa bergabung dengan para prajurit mataram maupun setelah terpisah dari rombongan prajurit. Selo Branti memimpin perjuangan rakyat jelata serta memberi motifasi kepada rakyat agar jangan rela tanah kelahirannya di injak-injak dan di kuasai kaum penjajah.
Dalam serat silsilah yang di tulis oleh kyai sabikis (1890 an) tertulis bahwa Kyai Selo Branti adalah anak dari Ki Ageng Selo, yang di maksud anak disini adalah kemungkinan bisa berarti anak kandung, namun bisa mungkin berarti murid. Namun di lihat dari riwayat kesaktiannya ia pantas di anggap sebagai murid atau anak turun ki Ageng selo, menurut cerita orang bahari perjuangan selo Branti melawan Penjajah belanda dengan kesaktiannya bisa di hadapi dengan mudah, pasukan belanda yang bersenjatakan meriam dan senapan oleh Selo Branti cukup di hadapi dengan Taburan Merang mereka sudah lari tunggang langgang, Bahkan makamnya Selo Branti sampai sekarangpun masih mengandung misteri kesaktian. Hal ini di rasakan oleh masyarakat sebelum makam tersebut di tawarkan (di netralkan) apabila melewati makam tersebut kemudian bayangan orang yang lewat mengenai makam Selo Branti maka ia akan pingsan di tempat, jadi jara berkunjung ataupun melewati di sampingnya harus di siasati yaitu apabila arah sinar matahari dari timur maka orang yang merkunjung atau melewati harus berposisi di sebelah barat makam agar bayangan tidak jatuh ke makam mbah selo Branti. Demikian kalo sore hari harus sebaliknya cara di atas. Makam Selo Branti berada di daerah Jlamprang, Kali Urip, Bener, Purworejo sampai sekarang masih banyak di ziarahi oleh orang-orang yang tahu dan tedak turun yang berasal dari kalipancer, magelang,bener dll.
masih menjadi sebuah pertanyaan kenapa Selo Branti Parjurit Kerajaan biss berdomisili di wilayah kecamatan Bener? jawabannya tidak ada yang tahu persis karena orang sesepuh yang bisa kita cari ceritanya sebagai informan tidak ada lagi. Namun dari anak cucu ada yang memprediksi bahwa ia bisa tinggal dan punya anak turun di wilayah kecamatan bener mungkin karena ia adalah orang yang sakti mandraguna yang kebetulan waktu itu terpisah dengan kelompok prajurit mataram dan mampir istirahat di wilayah tersebut, untuk itu tak heran apabila banyak masyarakat yang mengharapkan pengayoman padanya, karena masyarakat awam begitu takut dengan kekejaman penjajah. Karena di harapkan oleh masyarakat sebagai pengayom maka ia disuruh menetap di wilayah tyersebut dan di nikahkan dengan wanita setempat. Ian dijadikan sebagai pepunden dan secara langsung guru pembinaan olah kanuragan para pemuda dalam rangka melwan penjajah belanda.

Tuesday, August 17, 2010

Potensi Wisata Yang Terabaikan


Dusun Kalipancer merupakan daerah perbukitan dengan jenis tanahnya ada yang subur namun ada juga yang berupa tebing-tebing bebatuan. Diantara bentuk tanah bebatuan adalah daerah mereng ngulon, yaitu suatu lereng yang terletak di sebelah utara sungai Bogowonto dengan permukaan lereng menghadap ke selatan. Lereng tersebut bila kita pandang dari kejauhan akan nampak sebuah hamparan menghijau karena masih lebat dengan semak belukar dan pepohonan, maklum tanah tersebut kurang baik untuk di olah untuk pertanian, hanya tumbuhan tertentu sajalah yang bisa di tanam di lokasi tersebut, yaitu jenis kayu-kayuan seperti halnya al basia dan mahoni. Namun lereng terjal batu tersebut terdapat bentuk keragaman alam yang tersembunyi seperti tebing-tebing batu yang tinggi dan gua yang selama ini tidak begitu terperhatikan oleh masyarakat, untuk itu keindahan alam tersebut hampir hilang terselimuti oleh rimbunnya pepohonan yang di tanam oleh masyarakat petani.
Watu Tawing nama tebing batu tersebut yang kini hilang dari pandangan mata,Padahal jaman dahulu tempat ini kelihatan indah karena tebing watu tawing yang tinggi tinggi tersebut di hiasi dengan kucuran beberapa mata air serta rumput-rumput halus. dahulu apabila berjalan memalui bawah tebing akan merasa takjub atas keindahan alam watu tawing, belum lagi di tambah dengan posisi gua di bawahnya yang semakin nampak lengkap keindahan alamnya.
Disebut Watu Tawing karena bentuk tebingnya yang sangat curam ibarat dinding, keadaan bentuk seperti itu dalam bahasa jawa kalipancer di sebut nlawing.
Yang lebih menarik disini adalah gua watu tawing tersebut, karena gua tersebut di samping mempunyai nilai artistik juga mempunyai nilai mistis dan besejarah karena merupakan petilasan para sesepuh melakukan topobroto, namun sekarang kondisinya sungguh memprihatinkan karena tidak di perhatikan terbukti dari bayaknya daun kering yang memenuhi lantai gua dan pepohonan yang lebat hampir menutup pintu gua.
menurut cerita orang tua bahwa gua watu tawing dahulunya dalam sekali dan terdiri dari beberapa lorong bercabang di dalamnya, untuk itu kalau mau masuk di samping membawa oncor (penerang tradisional) juga harus mengikatkan tali yang panjang di mulut gua, baru ia memasuki dengan berpegang tali sampai batas tali habis, kalau tidak demikian maka orang yang masuk akan tersesat mengingat saking banyaknya cabang di dalam gua. para orang tua mengatakan bahwa panjang gua di perkirakan berkilo-kilo meter bahkan ada yang memprediksi gua tersebut tembus di wilayah banjengan dekat gunung puyuh, karena di banjenga ada sebuah lubang besar dengan mulut gua menghadap berlawanan dengan gua watu tawing, atas kebenaran wallohu a'lam karena hingga saat ini tidak ada orang yang berani masuk lubang besar besemak di wilayah banjengan tersebut.
Gua watu tawing yang bisa kita lihat sekarang bentuknya sudah berubah tudak seperti cerita orang tua, yang bisa kita lihat sekarang hanya berupa terowongan kira-kira ukurang 8x8 meter saja, karena lubang yang masuk sudah di tutup oleh sesepuh kalipancer yang bernama Kyai Sabikis, namun lubang tersebut bagi yang bisa melihat akan kelihatan dengan jelas. Hal ini di jelaskan oleh Jomeri seseorang yang pernah melihatnya dengan jelas, pada waktu itu ia masih kanak-kanak sedang bermain dengan dua orang temannya sambil merumput, tak sengaja ia mampir di gua tersebut dan baru pertama kalinya bagi jomeri kecil ke gua watu tawing. Sambil berteduh dari teriknya matahari ia mengamati dinding-dinding gua, ia melihaat lubang sebesar sumur mengarah ke bawah dan di lihatnya ternyata di bagian bawah ada semacam jalan lebar dengan di tumbuhi pohon jambu klutuk di dekat mulut lubang tersebut. Ingin ia masuk sambil mengambil buah yang masak-masak tersebut namun karena anak kecil ia merasa setengah takut, maka niat itu di urungkan. Setelah beberapa tahun lamanya maka ia datang lagi ke gua watu tawing untuk beristirahat lagi, namun betapa kagetnya karena yang ia lihat tidak seperti dulu lagi, dimana ia tidak melihat lubang ke bawah yang ada hanya dinding saja.
Perubahan yang lain adalah orang dahulu menceritakan kalau di dalam gia tersebut ada batu seukuran tempat duduk panjang, dimana betu tersebut terdapat bentuk bekas tempat tidur yaitu lekukan tempat pantat dan kepala, namun orang yang dahulu sering melihat batu tersebut sekarang tidak menemukan lagi, sebuah pertanyaan besar apakah benda itu hilang secara gaib atau di curi orang?


,

Monday, August 9, 2010

Partisipasi Pilkada


Partisipasi pesta demokrasi yang di lakukan masyarakat Kalipancer dalam pemilihan bupati kabupaten Purworejo cukup sukses, hal ini terbukti dengan banyaknya warga masyarakat yang menggunakan hak suaranya untuk menentukan siapa calon yang di kehendaki untik memimpin kabupan Purworejo mendatang. dusun kalipancer jumlah hak pilihnya kurang lebih 400 orang, untuk itu terbagi menjadi 2 TPS yakni TPS 1 dan TPS 2. TPS 1 di ketuai oleh Bpk Kaur. Nurhisyam sedang TPS 2 di ketuai oleh Bpk Edi Indrayanto. Dari hasil perolehan suara masing-masing unggul untuk cabub Daromi Irjas - Subhan, TPS 1 mengais angka 96 sedang TPS 2 memperoleh angka 91 untuk Daromi.
namun Pesta Demikrasi ini ternyata tidak cukup satu putaran karena dari sepuluh calon bupati tidak ada yang mendapatkan suara lebih dari 50 %, untuk itu harus di adakan putaran ke 2. adapun yang akan berfighting di putaran ke 2 ini adalah pasangan cabub daromi Irjas - Subhan dan pasangan Mahsun Zein - Zuhar yang di jadwalhkan tanggal 26 September 2010 nanti.
Masyarakat Kalipancer sudah menyadari bahwa siapapun nanti yang terpilih menjadi bupati tetap akan menjadi warga yang taat terhadapa apa yang sudah menjadi kebijakan pimpinan yang menjabat nanti. Karena masyarakat Kalipancer berpedoman pada firman Allah Swt " Ati'u lloha wa'atiurrosul wa ulil amri minkum" Jadi siapapun pemimpinnya nanti tetap wajib taat asalkan kebijakannya tidak bertentangan dengan norma agama dan bangsa....

Saturday, July 24, 2010

Sejarah Kota Purworejo


Hamparan wilayah yang subur di Jawa Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu kala merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut disebut sebagai wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan. Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan terakhir menjadi Bagelen. Di kawasan tersebut mengalir sungai yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama “ Watukuro “ sampai sekarang masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di tepi sungai dekat muara, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakatnya hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian yang maju dengan kebudayaan yang tinggi.

Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal 5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.

Prasasti yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.

Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.

Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.

Pematokan tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan”. Atau para hyang berada.

Dalam peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.

“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”

Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).

Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.

Upacara 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).

Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.

Perlu dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupatn Magelang.

Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat disegani.

Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan Brengkelan.

Pada periode Karesidenan Begelen ini, muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).

Dalam perjalanan sejarah, akibat ikut campur tangannya pihak Belanda dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755 tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu diupamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.

Dalam Perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.

Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.

Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.

Dalam perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer.

Tokoh-tokoh yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan “Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy Wibowo dan sebagainya.

Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri.


(Sumber: Buku POTENSI WISATA PURWOREJO – Yayasan Arahiwang Purworejo Jakarta).